Irwanto, Melampaui Seribu Pulau Kehidupan

DOKUMENTASI KELUARGA

Irwanto, Melampaui Seribu Pulau Kehidupan

Selasa, 26 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Oleh Agnes Aristiarini dan Maria Hartiningsih

Seusai membacakan pidato pengukuhannya, dengan iringan tepuk tangan panjang, Prof Irwanto PhD mendorong kursi rodanya kembali ke deretan kursi tempat para guru besar Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta berkumpul. Sesekali matanya menyapu hadirin yang memadati aula dan senyumnya mengembang setiap kali menemukan wajah-wajah sahabatnya.

Peristiwa pengukuhan itu sungguh bermakna bagi Irwanto karena ia tidak pernah menjadikan guru besar sebagai bagian dari mimpinya. ”Saya sudah lama melupakan itu,” katanya.

Suasana itu juga terasa lebih mirip reuni: bertemunya para teman dan sahabat Irwanto. Di antaranya, mantan ibu negara Ny Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, tokoh intelektual dan Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 1998-2004, Prof Dr Saparinah Sadli, juga Prof Dr Tapi Omas Ihromi, Guru Besar Emeritus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, serta Dr Melly G Tan, yang menyelesaikan masa baktinya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Lebih dari 200 teman dan sahabat hadir menjadi saksi peristiwa yang berlangsung Jumat, 1 Agustus. ”Kehadiran mereka saya rasakan sebagai apresiasi atas apa yang sudah saya lakukan,” kata Irwanto.

Sempat frustrasi

Irwanto lama tidak mau mengurus jenjang kepangkatannya karena frustrasi terhadap prosedur dan sistem yang berlaku. Kepangkatan akademik terakhirnya sejak tahun 1994 adalah lektor 200, artinya hanya sedikit lebih baik dari sarjana baru lulus.

Tahun 2006, Fakultas Psikologi tempat Irwanto mengajar membutuhkan tambahan guru besar. Mereka yang sudah memenuhi syarat didorong memprosesnya. Irwanto yang tergerak ikut, kembali frustrasi ketika berkasnya belum juga beres hingga 24 bulan.

”Saya sudah sampai ke tahap sudahlah, untuk apa sih harus seperti ini,” paparnya.

Untunglah Rektor Unika Atma Jaya Prof Dr FG Winarno turun tangan. Lewat koleganya pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, berkas Irwanto dicari dan langsung ditangani.

Teman-temannya pula yang membantu ketika Irwanto harus mengumpulkan persyaratan guru besar: karya ilmiah, hasil penelitian, jam mengajar dan bimbingan skripsi, tulisan di media massa, dan seterusnya, karena sistem penyimpanan Irwanto berantakan. Banyak sertifikat seminar tak tentu rimbanya, belum lagi data yang hilang karena komputer kena virus.

Meski yang dicantumkan lebih sedikit dan lebih sempit dari bidang yang ia tekuni dan aktivisme yang dilibatinya berpuluh tahun—semuanya tentang korban, sebutlah di antaranya masalah post-traumatic stress disorder, narkoba, dan HIV/AIDS—persyaratan pun terpenuhi.

Untuk pidato pengukuhan ia memilih bidang yang sejak awal menjadi perhatian utamanya, yaitu anak-anak. Berjudul Pengarusutamaan Hak-hak Anak dalam Pembangunan Nasional: Perspektif Ekologi Perilaku Manusia, orasi pengukuhan itu diikuti pandangan mata penuh syukur sang istri, Irene Indrawati Raman, dan kedua anak mereka, Astrid Irwanto dan Indy Irwanto, dari bangku hadirin.

Irene yang selama masa paling suram dalam kehidupan Irwanto tidak mempunyai waktu untuk menangis, terlihat beberapa kali menerawang saat mendengarkan Irwanto berpidato. Ketika menerima ucapan selamat dari para sahabat, matanya terus berair di antara senyum yang terus mengembang.

Perjuangan keras

Bagi Rektor Atma Jaya FG Winarno, perjuangan Irwanto untuk bangkit dari keterpurukan jauh lebih bergema dibanding bidang keilmuan yang ditekuninya. ”Irwanto adalah ikon. Ia menginspirasi banyak orang karena mengubah malapetaka menjadi peluru semangat perjuangan merebut peluang.”

Jalan panjang yang dilewatinya memang berat: kelumpuhan pada lebih dari separuh tubuh yang membatasi ruang geraknya sejak tahun 2003 akibat kesalahan medis. Saat itu usianya 46 tahun dan ia berada pada puncak produktivitas. Irwanto sempat tak mau melihat cahaya, mendengar suara, bahkan menolak menyaksikan rekaman pentas teater anak sulungnya.

Perjuangan Irwanto sangat keras untuk merebut keikhlasan dari diri sendiri, di antara perasaan-perasaan lain dalam bayangan penderitaan yang tak selalu bisa ia ungkapkan. Sampai akhirnya ia berani ke luar rumah untuk pertama kali, awal Januari 2004. Itulah titik baliknya. Ia mulai masuk kantor dan kembali memimpin Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya Jakarta.

Segenap keajaiban ternyata menyertai; usus yang pernah lumpuh dan membuatnya tak bisa makan selama delapan minggu, bergerak kembali. Dari yang terus-menerus terbaring, ia bisa duduk di kursi roda. Kedua tangannya yang nyaris tak berfungsi, kini menggerakkan kursi roda. ”Yang paling penting adalah saya menerima keadaan ini dan tidak mempersoalkannya lagi. Urusan dengan fisik sudah selesai dan saya ingin move on. Jalan terus,” kata Irwanto.

Maka ia sering merasa tidak nyaman kalau masih diposisikan sakit oleh lingkungannya. Ada yang menawari suplemen makanan, alat, sampai mencarikan ahli pengobatan. ”Saya ini sudah sembuh meski kondisi fisik saya berbeda,” tambahnya.

Seribu pulau

Kini ia sibuk mewujudkan mimpi-mimpinya: menulis buku psikologi untuk siswa SMA, buku biografi, membuat cerpen, belajar musik, dan pameran foto. Bahan-bahan untuk buku sudah mulai ia kumpulkan, juga koleksi fotonya. Foto-foto itu ingin ia pamerkan di lorong-lorong rumah sakit untuk menghibur mereka yang harus tinggal lama di sana.

Ia terus menyumbangkan pemikiran untuk berbagai lembaga. Di antaranya dalam organisasi nonpemerintah Pulih, dengan perhatian pada masalah post-traumatic stress disorder dan Ecpat Internasional di Indonesia, organisasi untuk menghapuskan prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak.

Irwanto juga semakin gemar memotret alam, bunga, dan pemandangan. Foto favoritnya menggambarkan laut di bagian bawah, pasir pantai di tengah, dan sepasang kaki yang berjalan di atasnya. ”Itulah ’saya’, move on,” katanya.

Kata orang bijak, kemauan adalah pedang tajam untuk menerabas rimba belantara. Analogi ini menciptakan paradoks dalam proses Irwanto. Keterbatasan fisiknya adalah kesempurnaan ketika tiba pada kemauan keras untuk melanjutkan hidup secara penuh.

Seperti ucapannya ketika menutup orasi ilmiah, ”Saya percaya, dengan bimbingan-Nya, saya dapat melampaui seribu pulau lagi.”

Sumber:

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/26/00555754/irwanto.melampaui.seribu.pulau.kehidupan

One thought on “Irwanto, Melampaui Seribu Pulau Kehidupan

  1. Salam buat prof.irwanto.
    Saya baru saja melihat bapak di acara satu meja kompastv. Sebagai mhsswi yg sedang mnempuh kuliah s1 psikologi, saya tertarik dg tema perdagangan anak. Namun tiba2 saja, setelah mndengar bapak berdialog, saya ingin tahu profil bapak. Setelah baca bbrpa biografi singkat ttg bpk, saya kagum sekali dg bapak. Walaupun belum pernah bertemu, saya sudah merasakan bhwa bpk adalah guru besar yg hebat. Dari tutur bicara bpk dan bbrpa kisah hdup bpk. Sangat mengesankan. Semoga tetap sehat dan selalu dlm lindungan Tuhan. Terima kasih.

Leave a comment